Penulis: M. Djais Surjaatmadja
Buku ini berisikan nama-nama jalan lama dan baru di Semarang. Penggantian nama jalan ini merupakan penerapan surat keputusan No. 39/Kep/D.P.R.D./55 Semarang, tertanggal 4 Agustus 1955, dimana nama-nama jalan tersebut diganti ke dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan buku ini kita mengetahui bahwa dahulu di Semarang terdapat nama-nama jalan berdasarkan nama para tokoh Tionghoa, seperti jalan Oei Tiong Ham, yang sekarang berada di kawasan jalan Gajah Mada (halaman 3). Lalu jalan Karangsana dahulu disebut jalan Gg. Liem Boen. Selanjutnya Jl. Sepaton dahulu bernama Gg. Liem Bo Swie. Masih banyak lagi yang lainnya. Jl. Sidorejo dahulu bernama Jl. Kebon-tionghoa. Berikut ini adalah contoh-contoh halamannya:
Buku ini patut dimiliki oleh penggemar sejarah kota Semarang.
Sambil menggendong seorang bayi, seorang perempuan duduk tenang. Sementara di belakangnya satuperempuan lain khusyuk meneliti rambut si ibu-ibu. Mereka sedang petan alias mencari kutu rambut. Keduanya seolah tak peduli dengan suasana sekitar yang begitu hiruk pikuk, di petang akhir pekan pengujung Juni itu.
Di seberang mereka, para bocah berlarian atau bermain dengan sepedanya. Bapak-bapak duduk-duduk, ditemani secangkir kopi dan rokok kretek, sambil ngobrol ngalor kidul. Tak jauh dari situ, seorang ibu sibuk mencuci baju, sedangkan suaminya memandikan sang putri. Lalu satu pemuda menggeber sepeda motor dengan raungan keras. Tampak pula seorang pria yang tengah memberi makan ayam.
Sementara ayam-ayam lain, entah milik siapa, berkeliaran, menyisakan kotoran di beberapa tempat. Jemuran bergelantungan bersama sangkar burung. Beberapa sepeda motor diparkir acakadut.
Dua perempuan yang tengah petan itu duduk di tangga sebuah rumah kuno. Semua hiruk pikuk itu juga terjadi di tempat yang sama, di sekeliling bangunan dua tingkat yang disebut warga sebagai Gedong Dhuwur alias Gedung Tinggi.
Selain Istana Gergaji, satu lagi bangunan jejak Oei Tiong Ham di Semarang. Letaknya di kawasan padat penduduk di Pamularsih Dalam atau Simongan. Dahulu, kawasan ini disebut sebagai Penggiling karena menjadi tempat penggilingan tebu.
Ada pula warga yang menyebut sebagai kampung Bongsari. Bong merupakan istilah untuk kuburan Cina. Disebut demikian karena daerah ini ditemukan banyak pemakaman Tionghoa. Namun nama “Bongsari” kini bergeser dari wilayah ini dan digunakan oleh kampung lain yang masih di bilangan Pamularsih.
Kini kawasan Simongan rapat oleh rumah. Padahal kontur tanahnya berbukit dan berupa lereng. Ketinggian dari laut sekira 35 meter dan dari jalan utama 20 meter. Jaraknya sekira satu kilometer di utara situs klenteng Sam Po Kong.
Uniknya, dari pelataran klenteng tersebut, Gedong Dhuwur sudah tampak menonjol.Posisinya paling tinggi. Apalagi begitu memasuki kampung Simongan, di RT 4 RW 8 kelurahan Bojong Salaman, rumah dua tingkat kian terlihat. Terkait riwayat dan fungsinya saat ini, warga mengenalnya sebagai “asrama”.
Kompleks bangunan ini juga peninggalan Oei Tiong Ham. Namun kini kondisinya jelas jauh berbeda daripada kemegahan Istana Gergaji.sebutan “asrama” menjelaskan situasi hiruk pikuk tersebut. Gedung utama terdiri atas. Bangunan utama terdiri atas dua lantai. Bagian dasarnya telah disekat-sekat sebagai rumah warga. Sementara lantai atasnya dibiarkan kosong tak terurus.
Gedung ini aslinya menghadap selatan. Namun jejak yang masih dapat diamati justru di bagian belakang rumah yakni di sisi utara. Empat pilar bulat dari batu di teras tampak masih kokoh. Pada bagian teras yang mencakup tiga pilar telah dipasang papan kayu untuk rumah warga.
Lantai dasar semula terbagi atas lima ruang dengan luas berbeda. Warga lalu membuat sekat-sekat di bagian dalam bangunan utama ini. sehingga ruangan dalam gedung sekitar 20×12 meter ini dapat dibagi dan ditinggali keluarga berbeda.Beberapa bagian dinding luar mengelupas. Sebagian dibiarkan sehingga terlihat batu batanya, sebagia lagian disemen alakadarnya.
Sisi depan bangunan yang menghadap selatan sudah tak terlihat wujud aslinya. Kondisinya semrawut dan terhalang bangunan-bangunan tambahan. Antara lain kamar mandi, tempat cuci pakaian, hingga kandang ayam. Seng-seng dipasang sebagai pagar dan Jendela-jendela bangunan asli ditambahi kanopi dengan kayu seadanya. Berbagai perabot dan perkakas teronggok begitu saja di teras tiban ini.
Padahal dahulu bagian ini menjadi halaman depan untuk keindahan rumah Sang Raja Gula dengan adanya kolam teratai yang selebar gedung utama. Kolam ini sama sekali tak berbekas karena persis di depan bangunan, hingga ke bawah bagian bukit, padat oleh rumah warga.
Tangga dari jalan kampung ke teras rumah di sisi barat masih tersisa. Kendati di teras sisi ini juga sudah ditambahi bangunan untuk kamar. Satu kolom bulat dari batu masih tampak kukuh kendati permukaannya mengelupas dan ujung atasnya sedikit keropos. Tangga di bagian timur—yang membuat bentuk rumah simteris—sudah diratakan tanpa sisa.
Kondisi Lantai dua gedung utamalebih mengenaskan. Setelah menaiki tangga besi di sisi timur rumah, begitu menginjak di lantai atas, ada bemper mobil yang dijadikan penadah air hujan. Ini sudut koridor timur dan selatan. Koridor atau serambi mengelilingi seluruh ruangan. Koridor selatan hanya diisi bangku dan perkakas pertukangan.
Lantai terbuat dari kayu. Konon dahulu semua lantai kayu di tingkat dua ini berlapis aluminium sehingga kokoh untuk atap bangunan bawahnya. Kini Lantai di koridor utara dilapisi ter sehingga masih kuat. Sedangkan lantai kayu di serambi sisi timur dan selatan sudah lapuk. Alhasil bagian tersebut tak bisa dilalui. Di serambi timur pun tampak beberapa bagian lantai kayu amblong.
Empat jendela besar berada di tiap sisi serambi. Sehingga menampakkan pemandangan Semarang dari semua penjuru. Ke arah utara tampak pelabuhan tanjung Mas dan laut Jawa, ke selatan terlihat sungai Kaligarang, kelenteng Sam Po Kong, hingga Gunung Ungaran. Demikian pula di arah lain, termasuk Bukit Bergota di arah timur yang di jaman Oei merupakan bagian dari kompleks Istana Gergaji.
Tingkat dua gedung ini memiliki tiga ruang. Pintu berada di ruang tengah. Dari ruang di tengah, terdapat pintu ke masing-masing ruang yang lain. Seluruh ruang dalam kondisi kosong. Gelap, penuh debu dan sarang laba-laba, juga terkelupas sebagian besar dindingnya.
Di atas pintu ruang tengah terdapat tulisan aksara Cina ukuran besar. Warna tulisan kuning keemasan di atas kayu hitam. Konon bunyinya, “Gunung di atas, sungai di bawah.” Cocok dengan posisi Gedong Dhuwur, kalimat tersebut dimaknai sebagai adanya keharmonisan bangunan ini dengan alam.
Dari jendela di koridor utara terlihat rumah induk kedua di sisi utara. Ukurannya terbesar kedua setelah bangunan utama. rumah ini aslinya menghadap ke utara. Oleh warga, rumah dibuat menghadap ke arah sebaliknya. Dengan gedung utama dihubungkan dengan landasan setinggi 1 meter. Dahulu landasan penghubung kedua bangunan ini memiliki atap dan berhiaskan ukiran kayu. Kini rumah ini juga telah dihuni warga.
Selain dua gedung ini, setidaknya ada beberapa ruang yang terpisah dalam kompleks ini. antara lain di sebelah barat ada ruang pelayan, gudang logistik, gudang mesin, paviliun, tempat sembahyang, dan garasi kereta, sampai istal. Fisik luar Ruang pelayan di sisi barat gedung utama terlihat masih kuat dan terjaga baik.
Semua bangunan itu terpencar dari gedung utama. Meski fisiknya masih ada dan samar-samar dikenali, kebanyakan bangunan tersebut sudah berbeda bentuk dan fungsi karena diubah atau ditambahi untuk hunian warga.Bahkan gardu jaga kompleks Gedong Dhuwur di kaki bukit pun sudah dibongkar.
***
Bambang Wijanarko, 51 tahun, masih kelas 1 SD ketika diajak orang tuanya menempati rumah baru. Ketika itu, awal dekade 70an. Sang bapak adalah Soekisno, disebut sebagai Ajendam—tanpa tahu kepanjangan dan pangkatnya—di Kodam IV Diponegoro, kini Kodam VII. Rumah baru itu adalah Gedong Dhuwur.
Sang ayah dan rekan-rekannya datang dari kesatuan berbeda. Tanpa surat atau dokumen apapaun, mereka menempati Gedong Dhuwur dan membagi ruang di lantai dasar untuk tempat tinggal. “Tahu sendiri siapa yang berkuasa waktu itu,” ujar Bambang yang dipercaya warga sebagai juru bicara “asrama”.
Alokasi pembagian lantai Gedong Dhuwur juga kurang jelas. Bambang tak tahu mengapa misalnya sang ayah mendapat jatah paling luas yaitu seluruh bagian lantai dua. Meski tak tinggal di situ, sehari-hari ia bekerja dengan membuka bengkel dempul di lantai atas Gedong Dhuwur.
Bapak satu anak ini dipercaya oleh warga Gedong Dhuwur sebagai juru bicara. “Dulu ini kantornya konglomerat Oei Tiong Ham,” ujar warga Pasadena, Semarang Timur, ini. “Waktu itu Oei bisa melihat langsung kapal-kapal dagangnya datang,” kata Bambang bak sejarawan sambil melayangkan pandangan ke arah utara. Sambil menyusuri tiap ruang di lanta dua, ia mengingatkan untuk berjalan pelan-pelan. Selain karena kayu sudah lapuk, juga bisa mengganggu penghuni di lantasi dasar.
Pada tahun 70an, Bambang mengenang, artefak peninggalan Oei masih tersisa. Awal-awal tinggal di Gedong Dhuwur, Bambang ingat terdapat sepasang patung singa di pintu utama di sisi selatan gedung. “Ceritanya konon jumlahnya semula ada enam,” ujarnya.
Dari cerita-cerita yang beredar, belakangan Bambang tahu patung singa itu unik. Bukan patung singa ala Tionghoa—yang dijumpai di banyak kuburan Cina–melainkan singa gaya Eropa. Ada pula yang menyebut patung gaya Yahudi. Ciri figurnya tidak seimajinatif singa Tiongoa namun lebih realistis dengan surai-surai yang tampak jelas. Toh, kata Bambang, sepasang singa itupun raib digondol maling.
Bangunan ini memang menyimpan berbagai barang berharga milik Oei. Bambang ingat pula ada altar sembahyang dan tempat hio di ruang utama lantai dua. Begitu juga perabot dan lantai dari marmer yang, dari cerita mulut ke mulut, membuat warga menyebut rumah ini sebagai “Istana Marmer”. Kabarnya ada pula teropong milik Oei yang digunakan untuk mengamati kedatangan kapal dari utara. Demikian juga foto-foto tempo dulu koleksi si Raja Gula.
Dari sisa-sisa kekayaan Oei, tidak ada yang lebih heboh saat warga menemukan sejumlah guci dan koin kuno di lahan kompleks Oei. Misalnya ada warga yang menemukan jambangan saat hendak membuat fondasi rumah. Isinya koin berbahan tembaga dengan angka tahun 1700-an. “Masih ada lambang dan tulisan V-O-C,” ujar Bambang seraya mengeja. Karena tak tahu nilainya, warga asal saja menjual Rp5 per koin saat itu.
Semua peninggalan itu sudah tak berbekas. Menurut Bambang, benda-benda itu tak diketahui lagi rimbanya. “Sudah dipindahkan oleh warga,” begitu istilahnya. Hilangnya sejumlah bagian bangunan juga karena dipugar sewaktu ditinggali warga. Misalnya gapura di pintu utama di sisi selatan gedung dibongkar pada akhir 70an.
Bangunan lain berubah fungsi terutama menjadi rumah warga. Kini sejumlah bangunan ini sulit dikenali karena berbaur dengan bangunan baru yakni rumah-rumah warga. “Kandang kuda malah sekarang jadi kandang tinja,” seloroh Bambang. Bagian terakhir kompleks yang kena gempur adalah gardu jaga di sisi selatan bukit yang dibongkar dua tahun lalu.
Toh, warga mempertahankan satu artefak yakni plang tulisan Cina di ruang utama lantai dua. Alasan warga, seperti dikemukakan Bambang, bahwa bangunan dan segala barang di dalamnya bukan milik mereka. “Padahal ditawar orang Malang Rp 30 juta,” ujar Bambang.
Bahkan semula pengusaha yang sama berniat membeli Gedong Dhuwur. “Mau dijadikan hotel,” katanya. Namun belum sampai hitung-hitungan bisnis bangunan utama, pengusaha tersebut keburu mundur. Soalnya ia mengaku sudah kewalahan menghadapi pembebasan lahan warga sekitar.
Bukan hanya kolektor dan pengusaha, melainkan keluarga, orang dekat, dan bekas karyawan Oei berkunjung ke bangunan ini. Dua tahun silam Sarang garuda juga turut disinggahi dua anak tiong Ham dari istri terakhirnya, Lucy Hoo, setelah dari Istana Gergaji. Ditemani pemandu, mereka mengaku kini tinggal di Amerika Serikat.
Sekira 20 tahun silam, bertandang pula orang –orang Tionghoa dari belanda dan Singapura yanng mengaku kerabat dan karyawan Oei. seorang dari mereka yang mengaku staf Oei bahkan mengatakan gedung ini memiliki bungker. Memang pintunya di mana? “Ia menuding tidak jelas. Tapi kalau benar ada, ya jadi rahasia mereka yang pernah di sini,” tutur Bambang.
Kunjungan keluarga dan karyawan Oei, bagi Bambang, tak lebih sekadar untuk nostalgia. Soalnya, bangunan ini telah ditempati sekitar 40 kepala keluarga. Mereka adalah keturunan para tentara atau pendatang yang membeli petak rumah tersebut. Padahal tak ada catatan resmi satupun atas kepemilikan bangunan ini. Toh hingga kini tak ada pihak pemda, juga badan berwenang untuk cagar budaya, mengurusi situs ini. “Bangunan ini tidak bertuan,” ujar Bambang.
Seperti lazimnya bangunan tua, pengunjung juga datang dari alam lain. Setidaknya begitu cerita orang kepada Bambang karena ia belum pernah menyaksikan sendiri. Misalnya “penampakan” di ruang timur lantai dua. “Sosoknya perempuan pakai baju panjang seperti pengantin tapi bukan berasal dari sini (Jawa),” tuturnya.
Tak cuma satu dua orang yang mengaku melihat sosok tersebut. Salah satunya seorang warga asal Salatiga yang datang ke Gedong Dhuwur sambil membawa suatu keinginan. Setelah bertemu “si pengantin” konon orang tersebut berkemantapan hati mewujudkan niatnya. Belakangan Bambang baru tahu bahwa sejak awal si tamu terobsesi dengan bangunan Gedung Dhuwur dan ingin mendirikan rumah yang mirip. “Mimpinya itu sekarang terwujud,” ujar Bambang.
**
Hal pertama yang dapat kuingat dalam kehidupanku adalah rumah kakekku. Rumah kakekku besar dan suram, dibangun dalam gaya Cina dengan beberapa paviliun terpisah yang dihubungkan dengan bermil-mil lorong-lorong yang seperti tak ada habisnya. Di sepanjang lorong berjajar guci-guci tanah yang berisikan beras dan tembakau.
Neneku dan anak perempuannya yang belum kawin dan wanita-wanita yang tidak jelas hubungannya dengan nenekku, tinggal di paviliun sendiri…
Kamar kakekku berada jauh di seberang rumah itu. Kantornya ada di bawah kamarnya, …terdiri atas sebuah ruangan besar yang selalu teduh dan sejuk.
Di lantai atas kakekku tinggal sendiri dengan mewah. Kamar tidurnya dialasi karpet yang ditenun halus seperti sutera ia tidur di tempat tidur bertiang empat yang terbuat dari kayu jati berukir naga.
Itulah penggalan kenangan Oei Hui Lan dalam otobiografinya atas rumah sang kakek, Oei Tjie Sin. Hui Lan adalah putri Oei Tiong Ham. Tjie Sin, ayah Tiong Ham, mencari lahan yang ideal sebagai makam dirinya selama berbulan-bulan. Tercatat 25 tahun sebelum kematiann Tjie Sin atau pada 1875, Ia akhirnya menemukan bukit Penggiling yang masih berupa hutan.
Ketika itu, bukit tersebut masih satu kawasan dengan area situs Sam Po Kong di daerah Gedong Batu. Pemiliknya seorang pengusaha Yahudi bernama Johannes. Tjie Sin pun memborong lahan tersebut namun membebaskan wilayah klenteng Sam Po Kong untuk ritual agama sebagai bentuk rasa syukur.
Peristiwa tersebut tercatat pada tugu batu berangka tahun 1879 di kawasan itu. Tiong Ham baru berusia 12 tahun waktu itu. Kelak di tahun 50an, Tiong Ham mendirikan pabrik farmasi Phapros di selatan Gedong Batu.
Setelah tanah resmi dimiliki, Tjie Sin membabat hutan di bukit dan membuat kompleks makam.Tempat ini cocok secara astrologi Cina karena berada di bukit, menghadap selatan, dilalui sungai, dan kaya pepohonan. Ia pun mendirikan rumah tak jauh dari sana dari kayu dan batu granit dan kayu, dilengkapi kolam aneka jenis teratai dari Cina dan kandang binatang seperti macan dan gorila. Rumah itu dinamai Eagle Nest alias Sarang Garuda.
Gairah hidup Tjie Sin redup ketika istrinya meninggal. Ia makin jarang turun ke kota, menjauhi binis, dan menyepi di rumah kesayangannya sampai putri paling kecilnya menikah. Setelah Tjie Sin berpulang tahun 1900, seluruh aset diwariskan pada anak-anaknya. Sarang Garuda pun ditempati Tiong Ham yang digunakan untuk melihat kapal dan pelabuhan, termasuk pengawasan kapal-kapal miliknya, juga untuk melepas lelah menikmati pemandangan.
Sepeninggal Tiong Ham pada 1924, Sarang Garuda menjadi aset perusahaan Kian Gwan. Lahan di wilayah milik Tiong Ham itu mulai dipecah-pecah, seiring nasionalisasi atas kekayaan Raja Gula tersebut. Sarang Garuda pun diduduki militer dan dijadikan asrama.
Ndaru Hario Sutaji dari Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegeoro menyusun tesis tentang Gedong Dhuwur pada 2005. Riset berjudul “Tata Ruang Gedong Dhuwur di Kawasan Bersejarah Simongan Semarang” tersebut mengungkapkan, berdasarkan arsip dan dokumentasi, kompleks bangunan tidak mengalami perubahan pada kurun 1909-1965.
Menurut Ndaru, Sarang Garuda memiliki arsitektur Indisch. Langgam bangunan ini lazim dibangun oleh pihak kolonial Belanda. Tapi berbeda dari umumnya gedung Indisch, tata ruangnya mendapat pengaruh arsitektur Cina dengan perwujudan fengshui pada peletakan unsur-unsur bangunan.
Misalnya arah hadap bangunan dan pintu utama ke sisi selatan yang dipercaya sebagai sumber kebaikan. Selain itu, juga menghindari angin dingin dari Laut Cina di utara. Posisi Gedong Dhuwur yang menghadap lembah dan dengan lokasi perbukitan berbentuk tapal kuda berkaitan dengan aliran kosmik Chi dalam fengshui.
Gedong Dhuwur juga mempertimbangkan keberadaan kompleks situs kelenteng Sam Po Kong di Gedong Batu. Dari kedua situs ini, masing-masing bangunan mudah terlihat dengan jelas. Secara kesleuruhan, tiap bangunan di kompleks Gedong Dhuwur merupakan kombinasi karakter Indisch, Cina, dan Jawa dengan memadukan fungsi ruang tertutup dan terbuka.
“Sejarang yang dimiliki Gedong Dhuwur merupakan kekayaan budaya masa lalu bagi Semarang yang layak dipahami dan diapresiasi. Rancangannya yang konstektual dengan Gedong Batu dan arsitektur pada jamannya merupakan kunci guna mempertahankan kelestariannya,” tutur Ndaru dalam rekomendasi penelitiannya.
Sayangnya Sarang Garuda kini seakan menjadi sarang laba-laba.